السلام عليكم
Hey ! Good days to you!
Click here WARNING.!!
I'm Sorry... Right click aren't allowed here. Please click CTRL+C to copy and CTRL+V to past. Thanks a lot!❤ Tagboard
Rainbow after Rain Credits
Basecode: Nadya. Full edit: SitiSyuhadah Re-Edit by: Me Rain's friendship I love clouds and pretty raindrops My Favourite Site Click Here => | VivaLapasatu | TUMBLR | Follow @_Dianmaulani
| BEKAL
By: Dian Maulani Putri
“Nak, ini sudah mama siapin bekal buat kamu. Dihabisin ya. Jangan sampai
ada sisa.” Itu kalimat yang selalu mama ucap setiap pagi, sebelum mang Jono
mengantarku ke sekolah. Saat itu aku tengah menyantap hidangan lezat favoritku.
Roti sandwich dengan segelas susu cokelat. “kamu ini kebiasaan. Kalau mama lagi
ngomong nggak pernah kamu denger!” celoteh mama sembari melepas headshet yang
kupai. Aku hanya diam. Malas beradu mulut dengan mama. Bukan bermaksud tidak
sopan, aku bosan dengan kalimat-kalimat yang selalu mama ucap setiap pagi. “Ma,
kan udah Rani bilang berulang kali. Mama nggak perlu repot-repot bikin bekal
buat Rani.” “Tapi nak, kalo kamu kelaparan di sekolah gimana?” “Ya ampun ma,
banyak banget makanan yang dijual di kantin sekolah. Kalau lapar ya tinggal
beli. Rani bukan anak kecil lagi.” Jawabku dengan wajah muram. “Sudah ya, kamu
nggak usah bantah mama. Sekarang cepat habiskan sarapan kamu, dan bawa kotak
makan ini.” Aku tidak menggubris. Tapi benar juga, sebaiknya segera kuhabiskan
sarapanku sebelum terlambat ke sekolah. “Ma, Rani berangkat ya. Assalamualaikum.”
Kuhampiri mang Jono dengan segera, sebelum mama sadar bahwa aku meninggalkan
bekalku lagi di meja makan.
Dari dulu aku
sangat ingin berkunjung ke panti asuhan. Sekedar berkenalan dan bermain dengan
anak-anak di sana. Ya tentu saja sembari berbagi rezeki dengan mereka. “Rani”
seorang teman membuyarkan lamunanku. “Eh, iya kenapa?” “Ini ada undangan dari
Anin.” Adit memberikan undangan ulang tahun itu padaku. “Makasih ya Dit.” Kubaca
undangan yang ada di tanganku. Hari Minggu jam tujuh malam. “Pasti membosankan!”
keluhku dalam hati.
Mang Jono yang
mengantarku ke pesta ulang tahun Anin. “Non Rani mau mang Jono tunggu atau
gimana?” “Ditinggal aja mang, nanti kalau sudah pulang Rani telepon mang Jono
ya” aku melayangkan senyuman. “Siap non.” Kulirik jam tangan yang bertengger di
tangan kiriku. Jam tujuh lebih sepuluh. Segera kumasuki ruangan megah yang
berada di dalam restoran, tempat pesta diadakan. Pandanganku menyeluruh. Mencari
si pemilik acara. Telat sepuluh menit membuatku sedikit kesulitan mencari Anin.
Semua tamu undangan berseragam sama. Postur tubuh mereka juga hampir sama. Bisa
kutebak umur mereka sekitar sepuluh hingga dua belas tahun. Aku menangkap
sesosok wanita anggun dengan gamis putih berbalut jilbab dengan warna senada,
sedang menaruh kado dari para tamu. “Anin, selamat ulang tahun ya! Semoga makin
sukses, makin segalanya.” Anin memelukku dengan lembut. “Amin, makasih ya Ran
udah dateng ke acaraku.” “Iya sama-sama.” Semua bangku nampak terisi. Sisa satu
bangku tepat di sebelah anak-anak berbaju kembar. Aku lupa menanyakan asal-usul
mereka ke Anin. Beberapa menit lagi acara akan dimulai. Menit-menit yang cukup
lama untuk remaja yang mudah bosan sepertiku. “Kakak kok dari tadi diem aja? Temannya
ke mana kak?” celetuk seorang gadis imut di sebelahku. Ia mengenakan seragam
yang sama dengan teman-temannya. Yang berbeda hanya postur tubuhnya yang nampak
paling kecil dari yang lain. Sepertinya masih TK.
“Iya nih, nggak ada yang mau diajak ngobrol sih. Adik ke sini sama
siapa? Mama papanya ke mana?” gadis kecil itu tersenyum. “Sisil ke sini sama
teman-teman kak. Kata pak ustad, mama papa Sisil ada di surga.” Baru kusadari. Rombongan
anak-anak kecil yang menjadi tamu special Anin malam ini adalah anak-anak dari
panti asuhan. Aku termenung. Merasa salah ucap, aku takut hati gadis kecil ini
terluka karenaku. “Kakak cantik deh. Nanti kalau sudah besar, Sisil mau cantik
kaya kakak ah.” Gadis ini begitu lembut. “Sisil juga cantik kok. Kalau sudah
besar, Sisil pasti lebih cantik dari kakak.” “Mama Sisil juga bilang kaya gitu
kak, katanya kalau sudah besar Sisil pasti jadi anak cantik. Oh iya, mama Sisil
jago masak lho kak. Tiap hari mama pasti bawain bekal buat Sisil. Tapi waktu
itu mama lupa nggak bikin bekal buat Sisil, soalnya mama buru-buru berangkat
kerja dianter papa. Waktu Sisil tunggu, mama papa nggak pulang-pulang. Mungkin lagi
perjalanan ke surga ya kak. Tapi sampai sekarang nggak pulang-pulang. Mama papa
ngapain ya di surga?” gadis ini sangat polos, bahkan terlalu polos.
Aku termenung. Membisu, tak tahu harus jawab apa. Gadis ini
merindukan masakan ibunya. Sedangkan aku? Kedua orang tuaku masih ada di
sampingku. Bahkan ibuku rela meluangkan waktunya sekedar untuk membuatkan bekal
setiap pagi. Dengan sabarnya beliau tetap membuatkan bekal, meski akhirnya
selalu kutinggal di rumah. “Ya Allah, jahat sekali aku ini?” kataku lirih. “Lho,
kakak kok nangis?” “Eh, enggak kok.” “kapan-kapan main ke panti ya kak,
teman-teman pasti seneng kalau ada kakak.” Aku tersenyum. Mengikuti acara demi
acara hingga akhir.
“Selamat pagi ma!” aku mengecup pipi mama dengan lembut. “Tumben
kamu cium mama pagi-pagi gini. Biasanya ada maunya nih.” Tanya mama,
menggodaku. “Emang iya. Bikinin bekal buat Rani dong ma.” Jawabku manja. “Kamu
sakit nak? Biasanya kamu marah-marah tiap dibawain bekal.” “eh, enggak kok. Lagi
pengen aja. Tolong bikinin ya ma” aku menjawab seadanya. Tak ingin mama tahu
apa yang telah kualami. Bertemu dengan gadis mungil yang sangat polos, namun ia
cukup tegar untuk gadis seumurannya. Ya Allah, sayangi adik-adik ini. Lindungi mereka.
Terimalah kedua orangtua mereka di sisi-Mu. Amin.
Label: Cerpen, Curhat, Pengalamanku |